Oleh :

Ricky Ekaputra Foeh, M.M.
Koordinator Program Studi & Staf Pengajar
Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Nusa Cendana (UNDANA)

Ricky Ekaputra Foeh, M.M., adalah seorang akademisi yang berperan sebagai Koordinator Program Studi dan Staf Pengajar di Program Studi Administrasi Bisnis, FISIP UNDANA. Dengan latar belakang di bidang Manajemen dan Administrasi Bisnis, beliau memiliki dedikasi tinggi dalam pengembangan ilmu pengetahuan serta peningkatan kualitas pendidikan di lingkungan akademik.

Sebagai bagian dari Universitas Nusa Cendana, beliau turut aktif dalam penelitian, pengajaran, serta pengembangan strategi bisnis dan administrasi yang relevan dengan tantangan dunia industri saat ini.

OPINI

Pada awal tahun 2025, Indonesia menghadapi beberapa tantangan ekonomi. Pemerintah mencatat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp31,2 triliun hingga 28 Februari 2025. Penurunan penerimaan negara, terutama dari sektor pajak, menjadi salah satu penyebab utama defisit ini. Selain itu, pasar saham Indonesia mengalami penurunan signifikan, dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 7,1% pada Selasa lalu, memicu penghentian perdagangan sementara selama 30 menit. Penurunan ini dipengaruhi oleh kekhawatiran investor terhadap defisit fiskal dan pemangkasan peringkat saham Indonesia oleh Goldman Sachs dari ‘overweight’ menjadi ‘neutral’.

Menanggapi situasi ini, pemerintah mengambil langkah efisiensi anggaran dengan memotong belanja pemerintah pusat dan daerah sebesar Rp306,69 triliun. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, memastikan bahwa efisiensi ini tidak akan mengganggu target defisit APBN 2025 yang dipatok sebesar 2,53% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Langkah efisiensi ini diharapkan dapat mengalihkan dana menuju aktivitas yang lebih produktif dan merangsang perekonomian lokal.

Dampak terhadap Nusa Tenggara Timur (NTT)

Sebagai bagian integral dari Indonesia, NTT juga merasakan dampak dari dinamika ekonomi nasional. Efisiensi anggaran pemerintah pusat kemungkinan akan mempengaruhi alokasi dana ke daerah, termasuk NTT. Proyek-proyek infrastruktur dan program pembangunan di NTT mungkin mengalami penyesuaian atau penundaan akibat pengurangan anggaran. Selain itu, penurunan harga saham dapat mempengaruhi investasi di sektor-sektor vital di NTT, seperti pariwisata dan pertanian.

Namun, pemerintah daerah dapat mengambil langkah proaktif untuk memitigasi dampak ini dengan mengoptimalkan sumber daya lokal, meningkatkan efisiensi belanja daerah, dan mendorong partisipasi sektor swasta dalam pembangunan. Kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci untuk memastikan bahwa efisiensi anggaran tidak menghambat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di NTT.

Secara keseluruhan, meskipun Indonesia menghadapi tantangan ekonomi, langkah-langkah strategis yang tepat dapat membantu menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, baik di tingkat nasional maupun di NTT.

Saat ini, Indonesia menghadapi beberapa isu ekonomi yang signifikan:

1. Tekanan Pasar Keuangan: Bank Indonesia (BI) berada di bawah tekanan akibat ketidakpastian ekonomi terkait rencana pengeluaran pemerintah, pemotongan anggaran, dan pembatalan kenaikan pajak yang diusulkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Investor asing mulai menarik diri, menyebabkan penurunan saham dan nilai rupiah di tengah suku bunga tinggi dan kekhawatiran terhadap kesehatan fiskal.

2. Penurunan Indeks Saham: Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok hampir 4% pada Selasa, mencapai titik terendah dalam empat tahun terakhir. Penurunan ini dipicu oleh kekhawatiran atas menurunnya belanja konsumen dan tingginya biaya program sosial pemerintah.

3. Rumor Pengunduran Diri Menteri Keuangan: Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, membantah rumor tentang pengunduran dirinya di tengah penurunan tajam saham Indonesia. Ia menekankan komitmennya untuk menjaga disiplin fiskal dan memastikan fundamental ekonomi Indonesia tetap kuat.

4. Intervensi Pasar oleh Pemerintah: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengizinkan perusahaan tercatat untuk melakukan pembelian kembali saham tanpa persetujuan pemegang saham, sementara BI melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menstabilkan rupiah yang melemah. Langkah-langkah ini diambil setelah IHSG mengalami penurunan signifikan dan rupiah terus melemah.

5. Kebijakan Ekspor Minyak Sawit: Indonesia berencana menaikkan pungutan ekspor minyak sawit menjadi antara 4,5% hingga 10% dari harga referensi minyak sawit mentah, naik dari tarif saat ini sebesar 3% hingga 7,5%. Kenaikan ini bertujuan untuk mendanai peningkatan penggunaan minyak sawit dalam biodiesel.

6. Pemotongan Anggaran dan Austerity: Presiden Prabowo Subianto menerapkan pemotongan anggaran signifikan dan langkah-langkah penghematan untuk mendanai program ambisius seperti program Makanan Sekolah Gratis senilai $32 miliar dan mencapai target pertumbuhan ekonomi tahunan 8%. Langkah-langkah ini memicu protes dan kekhawatiran tentang stabilitas ekonomi dan politik.

Isu-isu ini mencerminkan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menjaga stabilitas ekonomi dan pertumbuhan di tengah kebijakan domestik yang ambisius dan ketidakpastian global.

Tetap Terhubung Dengan Kami:
Laporkan Ikuti Kami Subscribe

CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.